Kebebasan Manajemen Waktu Untuk Anak

        Memasuki saat menjaga kesehatan selewat pandemi yang cukup lama sekitar 3 tahunan, ada banyak hal yang menjadi berubah.

        Singkatnya lebih banyak dirumah, jadi biasa banget beberes rumah, lebih pinter masak karena ketika pandemi semua "dipaksa' dirumah, mengurangi aktivitas dan yang pasti jajan jadi online yang rasanya tidak seperti yang diharapkan. Hal ini yang buat google jadi koki buat di contek rumus masakannya agar sesuai dengan ekspektasi.

        Bukan cuma buat kita, anak-anak juga tambah 'akrab' sama gedget, noted handphone. Yang tadinya anak saya kelas 2 SMP belum pakai handphone jadi wajib punya handphone buat sekolah daring.

        Kita langsung pintar google meet, apa-apa jadi live streaming, bahas apapun video call aja cukup. Ini yang sampai sekarang bikin mager buat silaturahmi 😆😆

        Tetapi tak berlangsung lama, ketika ada kelonggaran dalam beraktivitas, langsung ada acara jalan-jalan si anak sama teman-temannya ke pasar loak buat beli komik, ke museum dan mencoba beberapa trayek transjakarta.

        Meskipun dijalankan ketika hari libur, tapi waktunya itu suka bikin ibu-ibu panik. Pergi pagi mau magrib masih di jalan. Belum lagi ada les online yang waktunya setelah Isya. Kalau jadi orang tua tugasnya cuma ingetin aja.

        Dan kami (saya dan anak) sepakat ketika dia di luar rumah akan berkabar. Makanya ga ada nanyain udah sampai mana. Yang ada anaknya chat menginformasikan dia ada dimana, lagi ngapain dan apa saja yang dia beli atau peroleh.

        Terkesan jauh dari efektif tapi saya berharap manajemen waktu yang dia pahami bisa mengarahkan schedule yang sedang dia jalankan.

        Pola yang saya terapkan menurut saya anak dibuat harus berpikir apa yang jadi kewajiban dia. Misalnya tetap tidur di jam sekian, les jam segini atau kerja kelompok online jam berapa. Kenapa dibiarkan dia mengatur waktunya sendiri?

        Alasan klise, ini merupakan cara agar anak bisa mandiri, tak bergantung pada siapapun termasuk orang tuanya.

        Sempat kami diskusikan mengenai hal ini dan kesepakatan ini masih digunakan karena anak merasa dipercaya dan bisa mengekspresikan apapun yang dia inginkan saat itu dengan tidak mengubah kebutuhan lainnya. Sampai dengan mengeksplore pengalaman baru.

sumber picture : pixabay

        Beberapa temannya menanyakan mengapa tidak ditanyakan jam pulang, tidak ditanyakan pergi dengan siapa saja. Jawaban pendeknya adalah foto yang dia kirimkan menunjukkan dia dimana dan dengan siapa saja, sedangkan jam pulang bisa diperkirakan oleh orang tua dengan diksi yang telah dia informasikan seperti dia arah pulang atau masih disuatu tempat.


        Bagi saya pribadi yang anaknya memasuki fase remaja, belajar bukan hanya dari sekolah, bukan dari buku namun juga dari pengalaman yang mereka peroleh setelah menjalaninya.

        Bersama orang tua, rekreasi bersama atau apapun yang dijalankan dengan kami pasti diarahkan, diawasi dan selalu dalam batasan-batasan untuk mengekplorasi imajinasinya, sedangkan melakukan hal bersama teman-teman seumurnya dengan berjalan-jalan atau mengunjungi tempat baru yang belum tentu selalu nyaman adalah sebuah bentuk pengalaman yang akan terpatri untuk kedepannya.

        Seperti cara mereka menghandle seorang pria yang ciri-cirinya mengarah ke ekshibisionisme, tanpa mereka harus kesal tapi sikap waspada langsung dipilih dengan menjauhi dan memasang kamera untuk mengawasi apa perilaku selanjutnya yang di kerjakan oleh pria itu. Sebentuk contoh yang buat saya terkesima dengan hal yang dilakukan.

        Padahal selama ini ketika kami bersama si anak tak pernah sekalipun ada orang yang aneh sekali perilakunya.

        Meski hal yang bisa dipelajari kapan saja, buat saya memberikan kebebasan manajemen waktu untuk anak adalah hal yang perlu dibiasakan.

Tipsnya :

1. Cek jadwal yang wajib dikerjakan misalnya waktu tidur, waktu les.

2. Beri batasan waktu yang disepakati.

3. Biasakan ada reward dan punishment apabila sesuai atau melanggar kesepakatan.

Semoga memudahkan untuk parenting buat ayah dan bunda.


Komentar